Forum Gay Katolik Indonesia

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

Yesus berkata: Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku; sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Sorga.


    Sebuah pandangan lain dari outsider

    ambrochius
    ambrochius
    Star of Share
    Star of Share


    Jumlah posting : 33
    Join date : 21.01.09
    Lokasi : Bandung, West Java

    Sebuah pandangan lain dari outsider Empty Sebuah pandangan lain dari outsider

    Post  ambrochius Mon Jan 26, 2009 2:49 am

    Kutipan ini sengaja dihadirkan di sini sebagai bahan pembanding pola pikir dan cara pandang umat lain (yang tentu saja bukan merupakan suara golongan/ kelompok religi tertentu melainkan pemikiran secara subjectif) yang nota bene beda agama dan mungkin pula bukan seorang gay. Dalam aspek tertentu memandang homoseksualitas sebagai cara menyikapi seksualitas bukan sebagai pola hidup atau orientasi seksual semata.
    Tulisan ini sudah cukup lama dibuat (2007) namun patut pula disimak mengingat sifat "kekinian" tema bahkan mungkin akan ada selama manusia itu masih ada di dunia ini.


    Saya baru saja melihat film Coklat Stroberi yang sudah diputar di bioskop minggu-minggu kemarin. Sebuah film yang bagus ditengah membanjirnya film-film lokal dengan tema “pasaran” : cerita horor atau drama percintaan. Meski tema yang diangkat agak kontroversil, namun, film ini layak untuk diapresiasi karena mengangkat cerita dari sisi lain kehidupan manusia. Film ini sendiri bercerita tentang pasangan Gay anak muda, lengkap dengan segala problema yang mereka hadapi, yang berkaitan dengan identitas mereka. Tuntutan untuk hidup secara normal, lingkungan yang tidak mendukung dan tekanan orang tua.

    Sejenak setelah menonton film tersebut saya memetik beberapa aspek yang penting untuk direnungkan:
    Pertama, Homoseksualitas (kaum Gay atau Lesbi) adalah fakta yang tidak bisa dibantah dalam kehidupan ini. Keberadaan mereka tidak bisa dinafikan begitu saja. Saya berpendapat, peradaban manusia sekarang begitu didominasi oleh peradaban semit yang anti dengan homoseksualitas. Citra negatif kaum Gay dan lesbi sekarang lahir dari stereotif peradaban ini. Baik itu Yahudi, Kristen ataupun Islam memiliki pandangan yang sama. Mereka menolak semua praktek liwath, dan itu diabadikan dalam kisah kaum Luth (Lot dalam versi Bibel). Fakta keberadaan kaum Homoseks ini harus berhadapan keras dengan pemeluk tiga agama besar. Beberapa negara Islam bahkan menerapkan hukuman mati bagi pelakunya.

    Kedua, apakah dengan menerapkan praktek larangan dan hukuman keras semacam itu homoseksualitas akan hilang dari muka bumi? Atau setidaknya keberadaan mereka bisa dicegah? Saya sangat ragu, karena fakta menunjukan sebaliknya; jumlah kaum Gay dan Lesbi semakin hari semakin bertambah seiring dengan meningkatnya demografi jumlah penduduk.

    Ketiga, dalam isu yang penting ini, lagi-lagi kita tertinggal dari bangsa-bangsa maju. Ilmu sosial modern disana berani mendiskusikan masalah homoseksual dengan terbuka dan bukan dengan vonis yang menutup suara. Bahkan istilah homoseksual tidak lagi dikategorikan sebagai penyimpangan. Para aktifis Human right disana menyebut orientasi homoseksual sebagai pilihan, choice, dan termasuk dalam kerangka HAM yang layak diakui dan diperjuangkan (disini kaum liberal pun nampaknya masih setengah hati untuk mengangkat isu ini). Tetapi, keberadaan mereka bukan tanpa kendala sama sekali. Eksistensi kaum LGBT (lesbian, Gay, Bisexual and Transexual) selalu mendapat tantangan dari kelompok agamawan konservatif.

    Eropa boleh dibilang angin segar bagi kaum homoseksual yang mencari pengakuan eksistensi. Beberapa negara Eropa seperti Belanda dan Belgia, mengakui bahkan melegalkan pernikahan sesama jenis. Keberhasilan kaum homoseksual dalam menggoalkan agenda mereka tidak terlepas dari kultur liberal yang sudah berurat berakar disana.

    Bagaimana dengan dunia Islam? Eksistensi kaum Gay dan Lesbi disini harus berhadapan dengan institusi kokoh, yaitu: Agama. Perbincangan yang sehat sangat tabu untuk dibicarakan, padahal, seperti kawan saya bilang, setiap waktu selalu muncul tunas-tunas baru. Mereka hidup dengan cara dan aturan tersendiri. Uniknya kaum Gay dan Lesbi, biasanya memiliki Code of Conduct yang hanya dikenali sesama mereka seperti dalam berperilaku, gerakan tubuh (gesture), penampilan fisik atau gaya bicara.

    Ini mengingatkan saya pada teori Lutfi jika sekulerisme memiliki sembilan nyawa begitu juga agama. Jika teori ini diterapkan pada kasus kaum Gay dan Lesbi maka bunyinya akan demikian: “jika agama memiliki seribu aturan dan hukuman, maka kaum Gay dan Lesbi juga memiliki seribu cara yang bisa membuat mereka eksis ditengah aturan yang represif seperti itu”.

    Memang, sangat disayangkan, sikap ignore atau acuh tak acuh telah membuat masyarakat atau kaum agawan tidak peka. Padahal, hasil dari sikap demikian telah melahirkan dua sikap ekstrim yang sama-sama negatif. Sikap ekstrim pertama, mereka yang meyakini bahwa homoseksualitas sebagai pilihan hidup terjatuh pada anomali gaya hidup bebas (meski tidak semuanya). Bergonta-ganti pasangan merupakan hal yang umum karena tidak adanya norma atau aturan spesifik yang mengatur kehidupan mereka. Sehingga kaum Gay dan Lesbi diidentikan dengan kehidupan amoral, AIDS dan freesex.

    Sikap ekstrim kedua justru sebaliknya. Penolakan terhadap keberadaan kaum Gay dan Lesbi hampir terjatuh pada “penyetanan” (dari kata setan) atau menganggapnya sebagai kriminal yang harus dijauhi. Dalam film yang saya sebut diatas, kasusnya persis demikian. Orangtua yang tidak bisa atau tidak mau menerima kenyataan jika anaknya seorang Gay.

    Dengan tulisan ini, saya berkeinginan agar diskursus ini bisa didiskusikan dengan sehat. Tentunya, saya tidak hendak menyetujui gaya hidup kaum Gay dan lesbi yang bebas dan tanpa aturan itu. Tetapi, saya juga sangat tidak setuju jika memperbincangkan masalah ini sebagai masalah diluar islam. Sebagai agama besar, kemungkinan, islam memiliki penganut yang juga seorang homoseks dalam jumlah besar pula. Amat tidak bijak jika kita terus menerus mendiskreditkan mereka. Juga sangat tidak bijak jika kita menyuruh mereka bertobat dan meninggalkan orientasi seksuilnya. Seorang Gay pernah berkata kepada saya: melarang mereka untuk berhenti menyukai sesama jenis hampir sama dengan menyuruh orang “normal” berhenti menyukai lawan jenisnya.

    Didalam Islam, Qur’an menyebut ikatan bathin dua anak manusia sebagai Azwaj atau Jauz. Dalam pengertian tradisional, yang disebut pasangan adalah laki-laki dan perempuan. Itulah pengertian yang lazim dikenal oleh masyarakat yang belum mengenal orientasi seksual lain. Tetapi, kata Azwaj atau pasangan itu juga bisa diartikan lain; mencakup pengertian yang lebih luas, yaitu meliputi pasangan Gay dan Lesbi. Perlu diingat, ini adagium kaum homoseksual, bahwa cinta dan kasih sayang sifatnya universal. Ia tidak memandang batasan jenis kelamin. Siapapun bisa dan terbuka menyukai siapa saja. Faktor psikologis perasaan tidak harus sama dengan jenis gender yang ada pada seseorang. Bukankah tujuan hidup berpasangan adalah mencari ketenangan (sukun, litaskunu ilaiha/ ilaihi) ? dan bukankah ketenangan dan rasa aman merupakan kebutuhan vital dalam kehidupan manusia. Dan jika seseorang merasa tenang dan aman dengan pasangan yang kebetulan sesama jenis, kenapa tidak?

    Hal ini juga ditunjang oleh doktrin islam yang paling fundamental. Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamiin. Disini, kasih sayang tuhan tidak pandang bulu. Tuhan tidak membuat pengecualian dalam memberikan rahmat pada mahluknya. Kesimpulanya, sifat rahmatan lil ‘alamiin dari Islam dan Umat islam, seharusnya, bukan hanya lintas ras, etnis dan gender tetapi juga lintas orientasi seksual.

    Sekali lagi kita perlu pada dialog yang terbuka tentang masalah ini. Yaitu memahami kehidupan kaum gay dan lesbi dengan kacamata yang tidak hitam putih. Kalaupun kita tetap keras kepala, maka saya berandai-andai mereka menempuh jalan sirr, tersembunyi, evolutif dan underground. Dengan sabar mereka bertahan dengan mendidik dan mengajari tunas-tunas baru yang jumlahnya semakin bayak. Lambat laun mereka mencoba mengubah persepsi serta norma di masyarakat tentang mereka.


    dikutip dari : http://cispos.blogspot.com/2007/08/coklat-stroberi-membincang.html (center for islam, Indonesia, and political studies)

      Waktu sekarang Fri Apr 19, 2024 3:47 am