Forum Gay Katolik Indonesia

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

Yesus berkata: Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku; sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Sorga.


    Don't Give Up Chapter XI

    ambrochius
    ambrochius
    Star of Share
    Star of Share


    Jumlah posting : 33
    Join date : 21.01.09
    Lokasi : Bandung, West Java

    Don't Give Up Chapter XI Empty Don't Give Up Chapter XI

    Post  ambrochius Fri Jan 23, 2009 10:51 am

    Chapter XI Hello Kitty


    Hari masih pagi saat sayup-sayup kudengar suara berciap-ciap, di kejauhan. Ah burung yang gembira menyambut datangnya hari baru, pikirku. Kutengok jam dinding kamarku dimana jarum pendek dan jarum panjangnya membentuk garis tegak lurus horizontal, sudah jam enam. Aku renggangkan sedikit badan menggeliatkan tangan dan kakiku sekedarnya, tangan kananku menepuk sesuatu, kutolehkan pandangan ku kesamping, seorang pria yang dalam keadaan tidurpun mengguratkan ketampanan a la artis Hongkong. Aku baru ingat, Albert bermalam di rumahku. Tak sadar kupandangi wajah lelapnya. Mukanya yang tirus membentuk garis huruf V yang kelihatan jelas, ada rona kebiruan di sekeliling mulutnya, menandakan bulu-bulu wajahnya yang bersih tercukur rapih. Alisnya yang tebal membentuk lengkungan sabit yang harmonis di kedua belah matanya. Dagunya yang persegi mengisyaratkan rahang yang kuat, bibirnya yang tipis selalu merindukanku untuk mengulumnya setiap saat. Tak habis aku berpikir, sungguhkah Albert suka padaku atau aku hanya dijadikan pelampiasan nafsu sexnya saja? Bisa dihitung dengan jari sejak kami menjalin hubungan Albert mengatakan “I love you!” Dia bilang rasa cinta tak harus dengan kata, lebih penting tindakan dan perhatian. Aku tahu Albert serius dan sungguh-sungguh mengatakannya, perhatian dan dan rasa sayangnya terhadapku terkadang bahkan mengekangku. Jujur kuakui di satu sisi aku suka diperlakukan protektif, itu menunjukkan bahwa Albert sungguh mencintaiku, tapi di lain sisi sifat pencemburu dan kekanakannya membuatku tak habis pikir akan usahanya meyakinkan cintanya padaku, bukankah seorang anak pun akan melakukan hal yang sama terhadap mainan kesayangannya, setelah bosan jangan harap ditengoknya barang sejenak. Aku tahu dan maklum walau aku tidak pernah mengeyam pendidikan psikologi, pada umumnya seorang anak tunggal memang memilki kecenderungan untuk bertingkah kekanak-kanakan dan over protektif terhadap sesuatu yang dimilikinya, keinginannya adalah suatu keharusan untuk diwujudkan. Bila anak tunggal terlalu lemah maka ia akan bersikap dependensi dan sangat tergantung dengan lingkungan sekitarnya, sebaliknya bila mentalnya cukup kuat maka independensi dirinya meningkat tajam, tidak butuh orang lain bahkan ekstrimnya. Albert merupakan gabungan dari keduanya, aku berharap bukan split personality yang dialami oleh Cybil, seorang tokoh novel dengan sebelas kepribadian atau bahkan lebih, terkadang Albert memang tampil sebagai anak yang sangat manja bila berdekatan denganku, minta dilayani dan sulit untuk menentukan keputusannya sendiri. Tapi bila sedang berada bersama orang lain atau ketika kami hang out dengan teman-teman gay yang lainnya Albert berubah menjadi dominan. Segala sesuatunya harus keluar dari instruksi dan keputusannya. Aku sendiri adalah orang yang cukup fleksibel dan moderat. Bila boleh meminjam cara pandang seven habit, Albert adalah seorang Sanguinis Coleris, sedangkan aku seorang yang Melankolis Plagmatis, cukup bertolak belakang bukan? Tapi ku akui disitulah keunikan hubungan kami berdua. Kami saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Bayangkan bila kami berdua memiliki ciri yang sama. Tentu saja klop dalam berbagai hal tapi akan saling berbenturan untuk banyak hal yang bersifat prinsipial. Belum lagi bila melihat orientasi sex kami yang kata orang menyimpang, yang menurutku hanya berbeda. Kenapa harus dikatakan dengan sebutan ”SAKIT” atau bahasa balon (banci salon)nya “SEKONG”. Kupikir secara jasmani dan rohani aku sehat walafiat. Aku bersyukur pada Tuhan bahwa seluruh fungsi organ tubuhku bekerja sempurna seturut kehendak alam. Aku dapat berpikir dengan jernih, dan tingkah lakukupun dapat dikatakan lebih “manner” dari orang kebanyakan. Sebuah stigma yang sampai sekarang aku pun tidak tahu kenapa harus ada. Bila Sigmund Freud mengatakan bahwa setiap manusia memiliki unsur kecenderungan akan ketertarikan dengan sex sejenis, itu aku setuju, mungkin kadarnya saja yang berbeda. Ah lagi pula buat apa aku berpikir terlalu jauh. Ada banyak kasus homosexual yang masih berada di daerah hitam putih, padahal secara kasat mata yang aku rasakan sendiri homosexual seringkali berada di wilayah abu-abu. Bukan tidak jelas hitam atau putihnya. Jelas-jelas itu abu-abu. Aku bahkan sempat mengikuti kelompok training para homosexual yang bertekad untuk merubah orientasinya menjadi orientasi orang kebanyakan pada umumnya, alih-alih berubah malah mereka saling suka satu dengan yang lainnya, munafik pikirku. Albert bahkan sempat punya niat utuk Open (mengaku) kepada orang tuanya kalau dia Gay, dan bermaksud mengajakku tinggal serumah dengannya. Gila! Mungkin itu bukti terbesar cintanya dengan berniat begitu, tapi aku masih butuh makan untuk hidupku, dan itu secara tidak langsung akan mempengaruhi karierku di perusahhan tempatku bekerja, yang nota bene adalah perusahaan keluarga kekasihku.
    Kali ini Albert terbangun saat aku mencium keningnya, beringsut malas dia menatapku dengan mata setengah terpicing, masih dengan suara parau dia menanyakan penunjukan waktu. “Masih pagi”, jawabku dengan pernyataan yang tidak tepat secara akurasi. Albert balas mencium bibirku, membenamkan wajahnya ke dadaku dan kembali melanjutkan mimpinya yang entah bertema apa, mudah-mudahan bukan mimpi buruk. Sambil kubelai rambut ikalnya sesekali kubenamkan wajahku kerambutnya untuk sekedar menghirup aroma kepalanya. Meresapi dalam-dalam keberadaannya dalam pelukanku. Dalam hatiku aku berteriak, “Ya Tuhan, sungguh aku mencintainya!” Salahkah aku bila cintaku adalah cinta terlarang? Agama manapun melarang adanya hubungan sejenis, termasuk di agama Katholik yang ku anut. Kontradiksinya malah ada pernikahan sejenis yang di legalkan baik secara hukum Negara atau hukum agama. Dan yang lebih kacaunya lagi pemimpin agamanya malah melakukan hal itu. Jangan sebut pengalamanku dengan Bruder Marco. Dalam situs internet yang kubaca ternyata banyak pula pendeta, pastor, biksu, dan alim ulama yang terjerat kasus pelecehan seksual sesama jenis, tidak tanggung-tanggung bahkan korbannya sampai puluhan anak dari usia belasan tahun sampai dewasa. Aku tersenyum sendiri mengingat pengalamanku dengan Bruder Marco. Bagiku pengalaman dengan Bruder Marco bukan musibah, aku malah bersyukur dan menjadikan pengalaman itu sebagai anugerah. Meminjam istilah para Gay, aku baru “meletek” dengan Bruder Marco. Dia seolah menyadarkanku akan keberadaan orientasi sexualku. Terlintas sebuah penalaran penyebab mengapa aku menjadi gay secara Psikologis. Terlepas dari pengalamanku dengan Bruder Marco aku yakini itu bukan pemicu utama aku menjadi Gay, Faktor chromosom Y ku yang berlebih? Mungkin saja, tapi aku tidak bertingkah kewanita-wanitaan, dan hormon testoteronku kurasa cukup menunjang penampilanku sebagai seorang pria tulen secara fisik. Faktor keturunan? Silsilahku pun aku tidak tahu harus dari mana menelisiknya. Hipotesaku buyar semua. Tinggal aku hanya bisa menerima keadaan ini dengan lapang dada. Yesus pun tahu isi hatiku. Terbersit pikiran setanku mengatakan, atau jangan-jangan Yesus juga seorang Gay? Karena ia begitu dekat dengan murid yang dicintainya Yohanes? Berarti Novel dan Film Da Vinci Code bohong besar! Yang bersandar di bahu Yesus pada saat Last Supper bukan Maria Magdalena. Itu memang benar-benar YOHANES. Aahh. . . pikiranku jadi ngelantur kemana-mana.
    Suara ciap-ciap itu terdengar lagi. Aku sadar, suara burung yang aneh. Bergegas aku keluar dari selimutku. Bergeser perlahan-lahan agar tidak membangunkan Albert yang tengah tertidur pulas, kupakai celanaku, aku tak perlu mengatakan bahwa kami tidur bertelanjang bulat dibalik selimut bukan? Kucari asal suara ciap-ciap itu, perasaanku mengatakan sesuatu. Segera aku berjalan cepat ke dapur, kulihat di kolong tempat cuci piring. Benar! Chita beranak! Ada enam bayi kitten lucu-lucu meringkung berebut susu dari tetek induknya. Seekor belang hitam putih, dua ekor abu-abu, seekor hitam keabuan, yang sisanya putih kecoklatan, menandakan Baron sukses menjadi Pejantan Tangguh. Terdiam aku melihat pemandangan yang menakjubkan ini, dalam hati aku berujar.” Hello kitty! Selamat Hari Natal! Joy to the world!”


    TO BE CONTINUE

      Waktu sekarang Mon Mar 18, 2024 10:30 pm